Pondok Pesantren Hidayatullah lahir
dan berdiri di atas manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW). Kita
menyakini bahwa SNW ini selaras dan merujuk pada framework Islam
dan ittiba' kepada Rasulullah saw.
Manhaj ini lebih penting dari
materi pelajaran dan guru. Manhaj inilah yang memberinya bentuk dan warna yang
khas. Manhaj diperlukan Pesantren Hidayatullah untuk memahami dirinya
sendiri. Manhaj ini tidak hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia
berkaitan dengan pendekatan metodologis. Artinya, bagaimana data dan fakta itu
dipahami. Data dan fakta yang ada itu harus diselaraskan dengan manhaj ini
Itulah salah satu alasan mengapa
Hidayatullah tidak bisa memakai manhaj peradaban asing.
Ia bisa memakai metode asing tapi bukan manhajnya. Sains Barat, misalnya, tidak
sepenuhnya ditolak atau diterima. Unsur asing perlu dicerna, diproses untuk
diserap atau dibuang. Persis metabolisme tubuh manusia. Sebagian makanan perlu
diserap, sebagian lagi harus dibuang. Kalau tidak demikian, maka kita akan
salah atau bahkan melenceng jauh dari cita-cita berqur’an dan bersunnah.
Pendidikan yang ada di Pondok
Pesantren Hidayatullah (baik proses maupun hasilnya) seluruhnya
harus merujuk dan dijiwai oleh manhaj ini. Ia harus dapat diterjemahkan
baik dalam proses belajar mengajar, budaya kerja, manajemen, pengambilan
keputusan, pembinaan SDM dan seluruh aspek lainnya yang ingin dicapai
oleh lembaga ini.
Konsekuensinya
Ustadz/ustadzah,murrabi, pengasuh, murid/santri, karyawan dan seluruh warga
Pesantren ini harus memahami manhaj ini dengan baik serta mengamalkan dalam
kehidupan sehari-hari karena mereka adalah bagian yang berperan penting dalam
memperagakan manhaj ini dalam kehidupan nyata.
Manhaj ini membahas berbagai hal
yang merupakan penanaman nilai, konsep, visi, standar, dan model kepribadian
serta keyakinan:
1. Surah al-'Alaq memantapkan aspek nilai-nilai
dasar akidah, yang tidak saja mencakup rukun iman dalam pengertian formal,
namun bagaimana nilai-nilai dari iman itu membentuk pemikiran, sehingga menjadi
rujukan dalam berpikir, merasa, berbicara, bertindak. Syarat-syarat syahadat,
misalnya, pada dasarnya merupakan "pagar" pikiran, perasaan,
perkataan dan perilaku (ilmu, yaqin, qabul, inqiyad, ikhlash, shidq,
mahabbah) kebalikan dari (jahl, syakk, radd, tark, syirk, kadzib,
baghdha').
2. Surah al-Alaq ini mengandung konsep: Konsep Rabb/
ketuhanan, Konsep penciptaan, Konsep manusia, Konsep ilmu, pendidikan dan Adab,
Konsep alam, Konsep syahadat, Konsep loyalitas.
4. Surah al-Muzzammil mengupas masalah tazkiyah
dan ibadah, yaitu 7 bekal spiritual seorang muslim: qiyamul-lail,
tartil al-Qur'an, dzikrullah, tabattul (total di jalan Allah), tawakkal, sabar,
hijrah. Fokus utamanya adalah pencerahan spiritual dan internalisasi
nilai-nilai Al-Qur'an. Menjadikan ibadah dan taqarrub kepada Allah sebagai
tradisi, baik melalui ibadah wajib maupun nafilah.
5. Surah al-Muddatsir membahas tentang konsep perubahan atau
prinsip-prinsip dasar tarbiyah dan dakwah, yaitu: berfokus
kepada akhirat, hanya membesarkan nama Allah, menyucikan "pakaian"
(kepribadian, keluarga, dsb), menghindari dosa, berhala, dan najis, ketulusan
dalam memberi, berdakwah tanpa pamrih, bersabar. Fokus utamanya adalah
transformasi nilai-nilai Al-Qur'an ke dalam kehidupan. Mulailah mencari teman,
dengan mengajak orang untuk berubah menjadi lebih baik, yakni: menjadi bagian
dari penggerak perubahan (agent of change).
6. Surah al-Fatihah merangkum visi
peradaban Islam, yakni peradaban yang berakar kepada tauhid dan
semata-mata untuk mengabdi kepada Allah ta'ala. Milikilah visi
besar, apapun keadaan kita hari ini. Al-Fatihah artinya Pembuka, semacam kunci
yang akan menjadi pemandu untuk memahami bangunan peradaban yang akan ingin
ditegakkan, yakni seluruh nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an.
Jadi sebagai lembaga Islam yang punya komitmen dalam membangun
peradaban Islam, maka pesantren Hidayatullah harus senantiasa menjaga,
memelihara dan mengaplikasikan manhajnya dalam kehidupan sehari-hari.
Jika konsep-konsep penting ini tidak lagi digunakan secara benar, maka ia
merupakan pertanda yang jelas bahwa ruh lembaga itu telah mati.
Dalam praktiknya proses Islamisasi
ilmu ini meliputi langkah-langkah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw
seperti dalam QS Al-Jumu’ah: 2-3. “Dia-lah yang mengutus kepada
kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan
Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata. Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum
berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Ada
tiga kata kunci disini: tilawah, tazkiyah, dan ta’limah.
1. Tilawah, dalam penggunaannya di dalam Al-Qur’an, kata ini selalu
dikaitkan dengan membaca teks suci, yakni Al-Qur’an dan wahyu Allah saja, bukan
bacaan selainnya. Pengertian ini wajar, sebab makna dasar kata “tilawah” bukan
hanya membaca huruf, tetapi ada konsekuesi membaca untuk mengamalkan,
mengikuti, menjalankan isi dari bacaan itu. Jelasnya, dalam proses ini, tidak
bisa dicampuri dengan sumber panduan lain, sebab tahap ini sangat menentukan
keberhasilan tahap selanjutnya, yakni tahap tazkiyah. Seseorang yang dalam
proses pembinaan awal (tilawah) bukan dengan apa yang ditunjukkan Allah, ia
ter-tazkiyah oleh sistem dan pemikiran lain, dan hasilnya pasti berbeda.
Artinya, dengan menjalankan Al-Qur’an dan perintah Allah sajalah
seseorang itu bisa menjadi suci. Sederhana, praktis, murah. Di SNW ini
adalah bagian dari nilai-nilai inti surah al-Alaq dan al-Qalam.
2. Tazkiyah, dalam pengertian dasarnya berarti
tumbuh, berkembang, bersih. Artinya, dengan menaati hukum-hukum dan tuntunan
Allah, seseorang akan tumbuh, berkembang, bersih jiwa dan kehidupannya,
sehingga siap untuk memasuki fase ketiga, ta’limah. Dalam SNW ini adalah bagian
dari surah al-Muzzamil, karena hanya dengan menyibukkan diri dengan ibadah dan
taqarrub kepada Allah saja aqidah seseorang akan tumbuh, berkembang dan bersih.
3. Ta’limah, pada prinsipnya adalah proses
pembekalan ilmu, yakni memberikan landasan rasional terhadap apa yang
dipercaya, diamalkan, direncanakan, dll, yakni mengajarkan nilai-nilai Qur’ani
dan Sunnah. Ini adalah nilai-nilai dari al-Muddattsir, yaitu transformasi al-Qur’an
dalam kehidupan.
No comments:
Post a Comment